Abu Hanifah al-Nu'man bin Tsabit al-Kufi
Beliau dikenal dengan keluasan ilmu dan akhlaknya yang mulia. Imam Syafi'i pernah mengatakan tentangnya: "Siapa yang ingin mendalami fikih, hendaklah dia belajar dari Abu Hanifa." Abu Hanifah merupakan salah satu dari generasi tabi'in, dan ia berinteraksi dengan beberapa sahabat, termasuk Anas bin Malik. Beliau terkenal dengan ketakwaannya, ibadah yang banyak, kesopanan, ketulusan, dan kekuatan pribadinya.
Abstraksi
Dalam fikihnya, Abu Hanifah berpegangan pada enam sumber, yaitu Al-Qur'an Al-Karim, Sunnah Nabawiyyah, Ijma' (kesepakatan ulama), Qiyas (analogi), Istihsan (kebijaksa-naan), dan 'Urf (adat).
Abu Hanifah mengalami dua ujian besar dalam hidupnya. Pertama, pada masa pemerintahan Bani Umayyah, ia menentang rezim dan menolak bekerja di bawah pemerintahan wali Kufah. Hal ini menyebabkan penahanan dan penyiksaan, dan akhirnya ia melarikan diri ke Makkah pada tahun 130 H.
Ujian kedua terjadi pada masa Kekhalifahan Bani Abbasiyah, di mana ia mendukung Imam Muhammad al-Nafs al-Zakiyya dan menentang penguasa Mansur al-Dawaniqi. Akibatnya, Abu Hanifah dipenjarakan hingga akhir hayatnya, meninggal di Baghdad pada tahun 150 H dan dimakamkan di pemakaman al-Khizran di Baghdad. Sebuah masjid, yang dikenal sebagai Masjid Imam al-Azam, kemudian dibangun di sekitar makamnya pada tahun 375 H.
Makam Imam Abu Hanifah di Baghdad
Masa Kecil
Kelahiran
Abu Hanifah dilahirkan dan dibesarkan di Kufah, salah satu kota besar di Iraq yang menjadi pusat keilmuan dengan keberagaman aliran dan agama. Sejak kecil, Abu Hanifah telah terlibat dalam diskusi ilmiah dan debat. Meskipun awalnya terlibat dalam dunia perdagangan seperti ayahnya, Abu Hanifah kemudian beralih ke dunia ilmu pengetahuan. Ia mulai belajar fikih dan menjadi murid dari Hamad bin Abi Sulayman. Setelah wafatnya Hamad, Abu Hanifah menjadi pemimpin di majelis ilmiahnya di Masjid Kufah. Ia mengajar murid-muridnya fikih dan memformulasikan metode fikih yang menjadi dasar Madzhab Hanafi.
Tahun Kelahiran
Imam Abu Hanifah lahir di Kufah pada tahun 80 Hijriyah, yang bersamaan dengan tahun 699 Masehi, menurut catatan sejarawan yang diterima secara luas. Ayahnya bernama Tsabit bin Nu'man bin Zauti bin Mah.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai latar belakang etnisnya, dengan beberapa narasi yang berbeda. Salah satunya menyebutkan bahwa dia berasal dari keturunan Persia, yang merupakan narasi yang umum dan dikenal.
Asal Usul
Perbedaan Sejarwan tentang Etnis Abu Hanifah
Menurut riwayat al-Khatib al-Baghdadi dalam kitabnya "Tarikh Baghdad," Tsabit, ayah Abu Hanifah, berasal dari Anbar, wilayah Nabatiyah di Irak. Ada juga yang berpendapat bahwa dia berasal dari Babilon.
Beberapa penelitian akademis mendukung pandangan bahwa Abu Hanifah memiliki akar Arab, dan dikonfirmasi oleh beberapa sejarawan Arab seperti Mustafa Jawad, Naji Ma'ruf, Rashid al-Khayyun, dan lainnya. Naji Ma'ruf bahkan menulis sebuah buku yang membuktikan keturunannya dan identitasnya sebagai orang Arab, dengan dukungan sejarah yang menolak klaim sebelumnya bahwa ia bukan orang Arab.
Naji Ma'ruf menggunakan bukti sejarah untuk menegaskan asal usul Arab Abu Hanifah dengan mengutip pepatah Arab yang mengatakan, "Penduduk Makkah lebih mengetahui tentang lembah mereka."
Sumber-sumber mazhab Hanafi juga menegaskan bahwa Abu Hanifah adalah keturuan Arab al-Azdi. Tsabit bin al-Marzuban, ayah Abu Hanifa, berasal dari suku Yahya bin Zaid bin Asad, merupakan bagian dari suku Azd yang beremigrasi dari Yaman dan menetap di tanah Irak setelah runtuhnya bendungan Ma'rib akibat banjir Arim. Mereka kemudian menjadi bagian dari suku Nabati di Irak.
Aktivitas Keilmuan
Lingkungan Keluarga
Abu Hanifah lahir dan dibesarkan di Kufah, dan sebagian besar hidupnya dihabiskan di kota tersebut. Sumber-sumber sejarah tidak menjelaskan secara rinci kehidupan ayahnya dan pekerjaan yang dipegangnya, tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa ayah Abu Hanifah berasal dari kalangan pedagang yang mapan, dan keluarganya hidup dalam keadaan berkecukupan.
Abu Hanifah dibesarkan dalam lingkungan Islam yang kental di Kufah, dan tumbuh sebagai seorang pelajar, peneliti, dan guru. Meskipun tidak ada rincian tentang kehidupan awalnya, namun dapat disimpulkan bahwa ia tumbuh dalam keluarga yang menganut Islam dengan baik.
Ali bin Abi Thalib dikatakan pernah mendoakan berkah untuk Ttabit, ayah Abu Hanifa, dan keturunannya. Hal ini menunjukkan bahwa keluarga Abu Hanifah telah memeluk Islam sejak awal. Dengan demikian, Abu Hanifah tumbuh dalam lingkungan Islam murni, dan ini merupakan kesimpulan yang diterima oleh sebagian besar ulama.
Kufah, tempat kelahiran Abu Hanifah
Masjid Abu HanifahTahun 1930
Kondisi kufah
Kufah, tempat kelahiran Abu Hanifah, adalah salah satu dari kota-kota besar di Irak pada masa itu, bahkan merupakan salah satu dari dua metropolis terkemuka pada saat tersebut. Irak pada masa itu dipenuhi dengan berbagai aliran, sekte, dan kecenderungan yang beragam. Kufah sendiri telah menjadi tempat bagi peradaban kuno, di mana komunitas Suriah telah tersebar dan mendirikan sekolah-sekolah sebelum era Islam. Sebelum kedatangan Islam, mereka belajar filsafat Yunani dan hikmah Persia di sana. Irak juga memiliki berbagai aliran kepercayaan Nasrani yang berbeda sebelum Islam, yang mendebatkan keyakinan mereka.
Setelah Islam datang, Irak menjadi kumpulan dari berbagai suku dan memasuki periode ketidakstabilan dan fitnah. Berbagai pandangan dan pendapat bertentangan tentang politik dan dasar-dasar keyakinan muncul di sana. Irak menjadi tempat bagi berbagai aliran, termasuk Syi'ah, Khawarij di awal sejarahnya, Mu'tazilah, dan para pengikut yang tekun yang membawa ilmu agama dari para sahabat Nabi. Oleh karena itu, di Irak, ilmu agama berkembang dengan beragam pandangan dan perdebatan, bersamaan dengan ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat yang ada. (Klik Sumber)
Masjid Jami` Abu HanifahTahun 2008
Dari Pasar ke Majelis Ilmu
Abu Hanifah membuka mata dan melihat keragaman pandangan di sekitarnya. Pikirannya mulai matang, dan berbagai pandangan terbuka baginya. Sejak masa kecil, ia sudah aktif berdebat dengan orang-orang yang berbeda pandangan, meskipun awalnya lebih tertarik pada dunia perdagangan. Ia sering mengunjungi pasar, tetapi tidak meninggalkan hubungannya dengan ulama, hanya sekali-sekali berdebat dengan mereka.
Beberapa ulama mulai melihat kecerdasan dan keilmuannya. Abu Hanifah merasa tertarik dan tidak ingin mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk perdagangan. Atas saran salah seorang ulama, ia dianjurkan untuk lebih sering berkonsultasi dan berdiskusi dengan para ulama seperti yang ia lakukan di pasar.
Tempat sebaran Mazhab Hanafi
Ada riwayat bahwa seseorang bertanya kepada Abu Hanifah, "Kepada siapa Anda berdiskusi?" Abu Hanifah menjawab, "Saya berdiskusi dengan para pedagang di pasar." Pria itu berkomentar, "Saya tidak menyuruhmu berdiskusidi pasar, saya menyarankan agar Anda berdiskusi dengan ulama." Abu Hanifah menyadari kesalahan dan kemudian mengubah fokusnya dari perdagangan ke ilmu pengetahuan. Ia mulai mendekati para ulama dan mendengarkan nasihat mereka.
Masjid Abu HanifahTahun 1930
Abu Hanifah berkata:
Suatu hari, saya melewati al-Sya'bi ketika dia sedang duduk. Dia memanggil saya dan bertanya, 'Dengan siapa Anda berdebat?' Saya menjawab, 'Saya berdebat di pasar.' Dia berkata, 'Saya tidak berbicara tentang berdebat di pasar. Saya berbicara tentang berdebat dengan ulama.' Saya berkata, 'Saya jarang berdebat dengan mereka.' Dia berkomentar, 'Jangan lengah, perhatikan ilmu dan bergaul dengan para ulama. Saya melihat dalam diri Anda kecerdasan dan aktivitas.' Dia berkata, 'Percakapan tersebut memberikan dampak pada hatiku.' Sejak saat itu, saya meninggalkan berdebat di pasar dan mulai mendalami ilmu, dan Allah memberikan manfaat dengan ucapan itu.
Riwayat di atas dikutip oleh Abu Zahroh, Abu Hanifah Hayatuhu wa `Asruhu wa Aro`uhu wa Fahmuhu: Dar al-Fikr al-Arabi Cet 2 h. 22
Abu Hanifah beralih ke ilmu setelah menerima nasihat dari al-Sya'bi. Ia mulai berpartisipasi dalam majelis-majelis ulama, yang pada saat itu terbagi menjadi tiga jenis: majelis untuk mempelajari dasar-dasar i`tiqod, majelis untuk mempelajari hadis-hadis Nabi beserta sanadnya, dan majelis untuk mempelajari hukum dari Al-Qur'an dan Sunnah, serta memberikan fatwa tentang masalah yang terjadi.
Berbagai sumber mencatat beberapa versi cerita tentang Abu Hanifah yang menunjukkan bahwa ketika ia sepenuhnya menybukkan diri untuk mengejar ilmu, ia awalnya memilih studi dalam bidang kalam dan debat dengan berbagai aliran. Namun, kemudian ia beralih ke studi fikih setelah mengkaji berbagai ilmu yang dikenal pada masa itu
Dalam perjalanan pencariannya, Abu Hanifah menyadari pentingnya pengetahuan fikih untuk pemenuhan kewajiban dan keberlanjutan agama. Ia memutuskan untuk mendalami fikih dan duduk bersama ulama dan pakar fikih untuk mempelajari dan mencermati etika mereka. Ia menyadari bahwa pemahaman agama dan penerapan ibadah tidak dapat diperoleh tanpa pengetahuan fikih. Abu Hanifah juga menyadari bahwa untuk mencapai tujuan hidup di dunia dan akhirat, ilmu fikih adalah kunci utama. Ia menyimpulkan bahwa fokus pada fikih akan membawanya pada keagungan dan ia tidak menemukan celaan apapun dalam ilmu tersebut.
Abu Hanifah mencapai tingkat kecerdasan dan pengetahuan yang tinggi, di mana ia mampu membaca Al-Qur'an dengan cara bacaan imam `Asim, memahami hadis, memahami ilmu nahwu, adab, sastra, serta mampu menjalani perdebatan dengan berbagai aliran mengenai masalah-masalah akidah.
Berkunjung ke Basrah
Dalam perjalanan pencarian ilmu ini, Abu Hanifah berkunjung ke Basrah untuk berdiskusi dengan ulama di sana dan kadang-kadang tinggal selama satu tahun untuk melakukan perdebatan ini. Setelah itu, ia beralih sepenuhnya ke studi fikih dan memilih seorang guru besar untuk memperdalam pengeta-huannya. Pada masa Abu Hanifa, Kufah adalah tempat bagi para fuqaha' (ahli fikih) Irak, sementara Basrah menjadi pusat kelompok-kelompok yang berbeda dan pembahasan masalah-masalah kepercayaan.
Lingkungan intelektual ini memberikan pengaruh besar pada pemikiran Abu Hanifa.
Abu Hanifah mengatakan, "Saya terlibat dalam semua jenis ilmu dan fikih. Saya duduk bersama orang-orang alim dan para fuqaha' yang terkemuka pada masanya."
Berguru pada Hammad bin Abi Sulaiman
Abu Hanifah memilih untuk menuntut ilmu dengan mendampingi Hammad bin Abi Sulaiman. Dia menyelesaikan studi fikihnya di bawah bimbingan Hammad dan tetap bersamanya hingga kematian gurunya. Hammad meninggal dunia pada tahun 120 Hijriah, sehingga Abu Hanifa, pada saat itu sekitar empat puluh tahun, menjadi independen dalam studi fikihnya. Pada saat itu, Abu Hanifah telah mencapai puncaknya baik dari segi fisik maupun mental.
Diceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berkata tentang hubungannya dengan guru besar, Hammad, "Aku menghabiskan sepuluh tahun bersamanya. Kemudian, hawa nafsu untuk mencari kepemimpinan mulai merayap dalam diriku, dan aku berkeinginan untuk meninggalkannya dan membentuk kelompok diskusi sendiri. Suatu hari, ketika aku akan melaksanakan keinginan itu dan memasuki masjid, aku melihatnya dan mendapati diriku tak mampu untuk meninggalkannya. Aku kemudian duduk bersamanya, dan pada malam itu, berita kematian kerabatnya tiba. Orang itu meninggal di Basrah tanpa warisan, dan tidak ada pewaris selain Abu Hanifa. Guru Hammad meminta Abu Hanifah untuk menggantikan posisinya, dan tanpa ragu, Abu Hanifah melanjutkan peran guru besar setelah kematian Hammad. Sejak saat itu, Abu Hanifah berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan meninggalkan tanggung jawab tersebut hingga kematian gurunya."
Abu Hanifah belajar bersama Hammad selama delapan belas tahun. Dikisahkan bahwa ia pernah mengatakan, "Saya datang ke Basrah dan berpikir bahwa saya tidak akan ditanya tentang apa pun kecuali saya dapat menjawabnya. Tetapi mereka bertanya tentang hal-hal yang saya tidak tahu jawabannya. Maka, saya berkomitmen untuk tidak meninggalkan Hammad sampai ia meninggal. Saya menyertainya selama delapan belas tahun." Dari situ dapat diketahui bahwa Abu Hanifah menjadi murid Hammad sejak usia dua puluh dua tahun, dan ia tetap bersamanya hingga usia empat puluh tahun. Setelah itu, Abu Hanifah menjadi independen dalam studi dan penelitian, serta mengambil alih kepemimpinan kelompok diskusi. Selama masa belajarnya dengan Hammad, Abu Hanifah juga berinteraksi dengan fuqaha' (ahli fikih) dan muhadditsin (perawi hadis) lainnya, serta mengikuti perkembangan ilmu di kalangan tabi'in (pengikut generasi sesudah para sahabat) di berbagai tempat.
Fiqh dan Dasar Mazhab
Imam Abu Hanifah pernah mengatakan, "Saya mengambil dari Kitab Allah Ta'ala, dan jika tidak saya temukan, maka dari Sunnah Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Dan jika tidak saya temukan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم, maka saya akan mengambil dari perkataan para Sahabat. Saya akan mengambil dari perkataan siapa pun di antara mereka dan meninggalkan perkataan yang lain. Saya tidak akan mengambil dari perkataan mereka kecuali kepada perkataan mereka. Ketika masalah mencapai tahap Ibrahim, Asy-Sha'bi, Ibnu Sirin, Al-Hasan, Atha', dan Sa'id bin Al-Musayyib - dan dia menyebutkan beberapa orang - maka beberapa orang berusaha, dan saya akan berusaha sebagaimana mereka berusaha."
Add a Call-to-Action
Sahl bin Muzahim berkata, "Pernyataan Abu Hanifah adalah pengambilan dari sumber yang dapat dipercaya dan menjauhi yang buruk. Ia memperhatikan urusan manusia dan apa yang mereka pertahankan serta yang membuat urusan mereka baik, lalu ia memutuskan perkara-perkara berdasarkan qiyas. Jika qiyas terlihat tdiak sesuai, maka ia memutuskan berdasarkan istihsan. Selama metodenya masih berlaku, jika tidak, ia kembali kepada apa yang diterapkan oleh kaum Muslimin. Abu Hanifah memilih hadis yang dikenal, yang disepakati oleh mayoritas, lalu ia menerapkan qiyas selama qiyastersebut sah. Kemudian ia kembali kepada kebaikan, dan mana yang lebih sesuai, ia kembalikan kepadanya."
Pernyataan di atas menunjukkan sumber-sumber hukum yang dipegang Imam Abu Hanifa, yaitu Al-Quran Al-Karim, Hadis Nabawi, Ijma' (kesepakatan), Qiyas (analogi), Istihsan (memilih yang lebih baik), dan 'Urf (kebiasaan).
Profesi Pedagang
Masjid Abu HanifahTahun 1900
Abu Hanifah dibesarkan dalam sebuah keluarga yang hidup berkecukupan. Ayah dan kakeknya adalah pedagang, dan diperkirakan bahwa perdagangan mereka berfokus pada kain (jenis kain tertentu). Perdagangan ini menghasilkan kekayaan yang berlimpah, dan Abu Hanifah mengambil warisan perdagangan ini dari mereka. Dia tumbuh dengan terbiasa mengunjungi pasar dan tidak hanya mendalami ilmu pengetahuan, tetapi kemudian beralih ke studi ilmu agama. Meskipun begitu, dia tidak meninggalkan sepenuhnya bisnis perdagangan, melainkan terus menjadi pedagang hingga akhir hayatnya. Ia memiliki seorang mitra yang tampaknya mendukungnya dalam mengejar ilmu, pelayanan hukum, dan meriwayatkan hadis.
Abu Hanifa, sebagai seorang pedagang, memiliki sifat-sifat yang menjadikannya teladan yang sempurna untuk pedagang yang jujur. Dia memiliki jiwa yang kaya, tidak tertarik oleh keserakahan yang bisa memiskinkan hati manusia. Mungkin hal ini disebabkan oleh fakta bahwa dia tumbuh dalam keluarga kaya dan tidak pernah merasakan penderitaan kekurangan.
Abu Hanifah memiliki integritas yang tinggi dan sangat memegang teguh amanah dalam semua hal yang berkaitan dengannya. Dia adalah orang yang murah hati dan menjauhi keserakahan, karena Tuhan melindunginya dari sifat serakah. Dia juga sangat taat beragama, sangat tekun dalam ibadah, berpuasa di siang hari, dan melakukan shalat malam.
Sifat-sifat ini mempengaruhi transaksi bisnisnya sehingga dia menjadi asing di antara para pedagang. Bahkan, banyak yang membandingkan bisnisnya dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ada kisah bahwa seorang wanita datang kepadanya untuk menjual selendang sutra, dan setelah tawar-menawar, Abu Hanifah membelinya dengan harga 500, melebihi harga yang diminta wanita tersebut.
Abu Hanifah sangat berhati-hati dalam semua hal yang mencampuradukkan dengannya dugaan dosa, bahkan jika itu terjadi secara tidak langsung.
Jika ia mencurigai adanya dosa atau merasa terdapat cela dalam harta yang dikeluarkan, ia akan menyumbangkan seluruhnya kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Diceritakan bahwa ia pernah mengirimkan barang dagangannya kepada mitranya, Hafs bin Abdul Rahman, dan memberi tahu bahwa ada cacat pada salah satu kainnya. Ia memerintahkan agar cacat tersebut dijelaskan saat penjualan. Namun, Hafs menjual barang dagangannya tanpa memberi tahu pembeli tentang cacatnya. Setelah mengetahui hal ini, Abu Hanifah menyumbangkan seluruh hasil penjualan barang dagangan tersebut sebagai sedekah
Usaha dagang Abu Hanifah sangat menguntungkan, dan dikisahkan bahwa ia mengumpulkan keuntungan dari tahun ke tahun. Ia menggunakan keuntungan tersebut untuk membeli keperluan para ulama, ahli hadis, serta pemeliharaan dan pakaian mereka. Setelah itu, ia membayar sisanya dalam bentuk dinar kepada mereka, seraya berkata, "Belanjakanlah untuk kebutuhan kalian, dan jangan berterima kasih kecuali kepada Allah. Aku tidak memberikan sesuatu pun dari hartaku kepada kalian, melainkan ini adalah anugerah Allah kepadaku untuk kalian.
Selain itu, Abu Hanifah sangat memperhatikan penampilannya agar sesuai dengan pengetahuannya. Ia selalu memperhatikan pakaian-pakaian yang dipilihnya dengan baik. Bahkan, dikatakan bahwa pakaian yang ia kenakan dihargai sekitar tiga puluh dinar, dan ia senantiasa menjaga penampilannya dengan menggunakan minyak wangi.
Peran dalam Pembangunan Baghdad
Pengalamannya yang panjang dalam urusan keuangan dan perdagangan memberinya wawasan dan kebijaksanaan dalam banyak aspek hukum dan cabangnya, yang tidak dapat dengan mudah dicapai oleh ahli hukum dari segi ilmiah dan teoritis semata. Pengalaman ini sangat membantunya dalam menyusun fikih Islam, sejalan dengan ketajamannya dan keahliannya dalam urusan transaksi dan kehidupan dunia. Hal ini terjadi ketika Mansur memulai pembangunan Baghdad pada tahun 145 H (762 M). Abu Hanifah diberi tanggung jawab pengawasan atas pembangunan tersebut dan menjabat sebagai pengawas umum selama empat tahun. Setelah selesai dibangun, majelis keilmuannya dipindahkan ke Baghdad. Ia terus mengajar di sana hingga wafat pada tahun 150 H.
Ujian Pertama dan Pelarian ke Mekah
Kekhalifahan Bani Umayyah
dua kekhalifahan
Abu Hanifah menjalani 52 tahun dari hidupnya pada masa kekhalifahan Umayyah dan 18 tahun pada masa kekhalifahan Abbasiyah, sehingga ia mengalami dua periode pemerintahan dalam dunia Islam. Dikisahkan bahwa saat Zaid bin Ali Zain al-Abidin memberontak terhadap Hisham bin Abdul Malik pada tahun 121 H, Abu Hanifah adalah pendukung Imam Zaid. Abu Hanifah menyatakan, "Pemberontakannya menyaingi keluarnya Rasulullah pada Hari Badar." Dikatakan bahwa ia menolak untuk ikut keluar bersama Zaid dengan alasan, "Jika aku tahu bahwa orang-orang tidak akan meninggalkannya seperti mereka meninggalkan ayahnya, aku akan berjuang bersamanya karena dia adalah pemimpin yang sejati. Tetapi mata orang-orang tertuju pada hartaku." Akhirnya, ia mengirimkan sepuluh ribu dinar kepada Zaidز
Pemberontakan Imam Zaid berakhir dengan kematiannya pada tahun 132 H, begitu juga putranya Yahya di Khorasan dan putranya Abdullah bin Yahya di Yaman. Abu Hanifah sangat menghormati Imam Zaid dalam ilmu, akhlak, dan agamanya. Imam Zaid menganggapnya dengan hormat, memberinya hak, dan memberikan dukungan finansial. Kemudian, Abu Hanifah melihatnya terbunuh oleh pedang penguasa Umayyah, kemudian putranya terbunuh, dan cucunya juga terbunuh, yang semuanya membuatnya kesal.
Pada saat itu, Yazid bin Umar bin Hubayra adalah gubernur Kufa. Dia mengirim pesan kepada Abu Hanifah ingin memberikan stempel kepadanya, dimana surat keputusan hanya dapat diteruskan di bawah kendali Abu Hanifa. Namun, Abu Hanifah menolak tawaran itu. Gubernur bersumpah akan memukulnya jika tidak menerimanya. Orang-orang menasihati Abu Hanifah untuk menerima posisi tersebut, tetapi ia berkata, "Jika dia meminta saya untuk masuk pintu masjid Wasit, saya tidak akan melakukannya. Bagaimana mungkin dia meminta saya untuk menandatangani surat yang menyebabkan tumpahan darah, dan saya yang menjaminnya? Demi Allah, saya tidak akan pernah terlibat dalam hal itu." Dia kemudian dipenjarakan dan dipukuli selama beberapa hari.
Abu Hanifah kemudian pergi ke Mekah. Kejadian ini terjadi pada tahun 130 H. Dia menemukan perlindungan di Masjidil Haram di Mekah, dan di sana ia mendalami studi hadis dan fikih, mencari ilmu di Mekah yang mewarisi pengetahuan dari Ibn Abbas. Abu Hanifah juga bertemu dengan murid-muridnya di sana, mengajarkan ilmunya, dan membahas pengetahuannya dengan mereka. Ia tinggal di Mekah hingga masa kekhalifahan diambil alih oleh Abbasiyah. Pada saat itu, ia kemudian pergi ke Kufa pada masa pemerintahan Abu Ja'far al-Mansur.
Ujian Kedua dan Wafatnya
Abu Hanifah menyambut masa kekhalifahan Abbasiyah dengan lega. Ia melihat penindasan yang dilakukan oleh Umayyah terhadap keturunan Ali bin Abi Thalib dan keluarga Nabi Muhammad. Abu Hanifah tetap setia kepada pemerintahan Abbasiyah karena kasih sayangnya kepada keluarga Ali bin Abi Thalib secara keseluruhan. Khalifah Abu Ja'far al-Mansur menghormatinya, meningkatkan posisinya, dan memberikan pemberian yang besar. Namun, Abu Hanifah selalu menolak pemberian tersebut dan tidak menerima hadiah-hadiah tersebut.
Tidak pernah diketahui bahwa Abu Hanifah mengkritik pemerintahan Abbasiyah, bahkan ketika keturunan Ali bin Abi Thalib memberontak terhadap kekhalifahan Abbasiyah. Meskpun Ketegangan antara mereka semakin memuncak, dav loyalitas Abu Hanifah tetap tertuju terhadap keluarga Ali. terutama karena orang yang memberontak terhadap pemerintahan Abu Ja'far adalah Muhammad al-Nafs al-Zakiyah bin Abdullah bin al-Hasan, serta saudaranya Ibrahim bin Abdullah bin al-Hasan. Ayah mereka, Abdullah, adalah salah satu murid yang berhubungan dengan Abu Hanifah secara ilmiah. Pada saat anak-anak Abdullah ditahan oleh Abu Ja'far, Abdullah meninggal dalam penjara setelah kematian kedua anaknya.
Abu Hanifah cenderung mendukung keturunan Ali bin Abi Thalib, dan sikap ini terlihat dari ucapannya dalam lingkup pengajarannya dan di antara murid-muridnya. Ia secara terbuka menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan Mansur ketika ditanyai, dan selalu menolak menerima pemberian dari Mansur. Abu Hanifah juga mengkritik sistem peradilan jika menemukan ketidaksesuaian dengan keadilan, tanpa memperhatikan potensi konsekuensi terhadap kehilangan keanggunan dalam putusan hukum tersebut.
Ketika Abu Ja'far al-Mansur mengundang Abu Hanifah untuk menjadi seorang qadhi (hakim), Abu Hanifah menolak. Al-Mansur kemudian meminta agar Abu Hanifah memberikan fatwa kepada para hakim dalam hal-hal yang mereka ragukan, namun Abu Hanifah juga menolak. Akibatnya, Abu Hanifah dihukum dengan hukuman cambuk dan penjara, atau menurut beberapa riwayat, hanya penjara saja.
Diceritakan bahwa Abu Ja'far al-Manshur meminta Abu Hanifah menerima tugas sebagai qadhi dan menjadi hakim utama. Namun, Abu Hanifah menolak hingga akhirnya ia disiksa dengan seratus sepakan cambuk, kemudian dibebaskan dengan syarat ia harus tetap di rumahnya. Meskipun diminta untuk memberikan fatwa atas perkara-perkara yang diajukan kepadanya, Abu Hanifah tetap enggan memberikan jawaban. Al-Mansur terus mengirim pertanyaan kepadanya, tetapi Abu Hanifah tetap diam. Akhirnya, Abu Hanifah dipaksa untuk kembali ke penjara, di mana ia mengalami penyiksaan lebih lanjut dengan kondisi yang sangat sulit.
Para rowi sepakat bahwa Abu Hanifah dipenjara, dan setelah itu, ia tidak lagi memberikan fatwa dan mengajar. Ia meninggal setelah ujian ini.
Wafat dalam Keadaan Sujud
Maqbaroh Khaizuran belakang
Masjid Jami` Abu Hanifah Tahun 2003
Abu Hanifah meninggal pada bulan Rajab, pendapat lain mengatakan di bulan Sya'ban. Ada pula yang menyebutnya di salah satu malam dari sebelas malam terakhir bulan Jumadil Awwal tahun 150 Hijriah.
Beberapa versi menyebut tahun 151 H, 153 H, dan ada yang menyebut wafatnya pada hari yang sama dengan kelahiran Imam Syafi'i.
Abu Hanifah wafat di Baghdad, dan jenazahnya dimakamkan di pemakaman Al-Khayzuran. Kuburnya yang terkenal menjadi tempat ziarah, dan dikatakan bahwa saat merasakan ajalnya, Imam Abu Hanifah sujud dan meninggal dalam keadaan sujud.
Sebelum meninggal, Abu Hanifah berwasiat agar ia dikubur di tanah yang tidak pernah disengketakan atau direbut paksa, dan tidak dikebumikan di tanah yang pernah dituduh sebagai tanah yang direbut oleh penguasa. Ketika Abu Ja'far mengetahui hal tersebut, ia berkata: "Siapa yang bisa membela diriku dari Abu Hanifa, baik saat hidup maupun setelah mati." Seluruh masyarakat Baghdad mengiringi pemakaman Abu Hanifa, cendekiawan besar Iraq dan Imam Agung, bahkan sejumlah besar orang menghadiri upacara pemakamannya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai lima puluh ribu orang. Bahkan, Abu Ja'far sendiri turut mendoakan di atas kuburnya setelah prosesi pemakaman.